Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

quīnque

Hai =w=
Besok weekend- dah itu aja

Happy reading!

.

.

.

.

.


"nih.." 

Halilintar menyodorkan sebotol air mineral pada Thorn yang tengah duduk di sebuah balok kayu di tepi gedung. 

"makasih.." Thorn menerima air itu dengan senyum kecil di wajahnya. Ia tak meminumnya, melainkan hanya memegangnya dengan wajah tertunduk. 

"sudah lebih baik?" Halilintar duduk di sebelah Thorn, menatap khawatir padanya. 

Thorn mengangguk, ia mengangkat wajahnya dan menatap lurus pada pemandangan kota yang dihiasi lampu. 

"kenapa kau kesini?" Thorn bertanya tanpa menoleh. 

"menurutmu ada alasan lain selain menemuimu? kenapa kau menghilang dari UKS?" 

Thorn tidak menjawab, melainkan hanya menatap lurus dengan pandangan kosong. 

"kau tau seberapa khawatirnya aku dan pak will saat tau apa yang terjadi? kau ini kenapa sebenarnya?" 

Halilintar meraih sebelah tangan Thorn, berusaha menarik perhatiannya namun Thorn masih tak bergeming. 

"Thorn.. aku tau, selama ini kamu menanggung beban itu sendirian. Tapi kamu juga harus tau.. tidak ada orang yang sekuat itu.." 

"aku bisa melakukan segalanya" Thorn menjawab singkat tanpa menatap Halilintar. 

"sebenarnya apa yang ingin kau buktikan? Tidak ada orang yang ahli dalam segala hal, Thorn.." 

Thorn tertunduk gelisah, tangannya yang digenggam Halilintar pun mulai mengepal. 

"aku hanya ingin menjadi yang terbaik" lirihnya. 

"terbaik untuk siapa?" Halilintar bertanya lagi, dan Thorn hanya terdiam. 

"kau terlalu fokus pada orang lain, sehingga kau melupakan dirimu sendiri. Alter ego yang kau ciptakan sudah bukan lagi bagian kecil dari hidupmu, tapi sudah hampir mengambil alih dirimu. Kamu sadar kan, bagaimana Alter ego mu sudah tak dapat kamu kendalikan?" 

Thorn hanya diam mendengarkan. 

"Thorn.. aku tau aku bukan siapa siapa, tapi aku sungguh sungguh khawatir denganmu. Mungkin bukan hak-ku mengurusi urusanmu, aku hanya ingin kamu tau bahwa kamu nggak sendirian.. jangan pernah bilang kalau kamu nggak butuh orang lain.." ucap Halilintar lembut, dan kali ini Thorn akhirnya menoleh pada Halilintar. 

Thorn perlahan menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Halilintar. Ia menatapi kedua tangannya dengan wajah sendu. 

"kenapa.. kamu berbuat sampai sejauh ini..?" Thorn bertanya lirih "aku bukan siapa siapamu.." 

"karena aku ingin jadi temanmu!" 

Thorn sekali lagi menoleh pada Halilintar, maniknya menatap Halilintar tak percaya. 

"aku ingin menjadi teman dan sahabatmu, Thorn Rolland! teman yang selalu ada di sisimu dan menemanimu!" Halilintar berucap lagi, nadanya bersemangat.

Thorn menggeleng kecil kemudian kembali menatap lurus, tanpa sadar seulas senyum tipis terbentuk di bibirnya. 

"kamu sudah gila?" 

Halilintar terkekeh "aku serius! aku benar benar ingin menjadi temanmu!" 

"padahal kau tau aku punya Alter ego yang menyeramkan?" 

Halilintar mengangguk.

"dan kau tau mereka menganggapku gila?" 

Halilintar mengangguk lagi. 

"dan kau tau kalau kau dekat-dekat denganku, kau bisa dianggap gila oleh mereka? dan kemungkinan terburuknya, kau juga bisa jadi sasaran bullying" 

Halilintar lagi-lagi mengangguk. 

"kau tau semua itu, dan kau masih mau jadi temanku?" 

Halilintar mengangguk mantap. Ia menatap Thorn dengan senyum lebar di wajahnya. 

"aku mau jadi temanmu karena aku tulus melakukannya! aku tak peduli dengan apapun itu, aku mau jadi temanmu atas kemauanku sendiri! dan tak ada yang bisa melarangku!" 

Mendengar itu, Thorn hanya tertegun dan menatap balas manik ruby milik Halilintar. Tanpa sadar, wajahnya memanas dan rona merah pun muncul di pipinya yang tertutup senja. Ia buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. 

Diam diam, Thorn tersenyum.

"dasar aneh.." 













*** 







.



Sementara itu di ruangan lain, seseorang berada di sana sendirian tengah mengerjakan paper-nya dengan gelisah. Ia terus terusan melihat handphone nya, seakan tengah menunggu sesuatu. 

Suasana sore itu sangatlah sepi dan hanya suara jarum jam serta goresan pena anak itu yang terdengar disana. 

Keringat dingin mulai membasahi pelipis anak itu. Tangannya yang memegang pena pun mulai gemetaran dan akhirnya ia menjatuhkan pena itu. Nafasnya tak beraturan, matanya melirik kesana kemari mencari-cari sesuatu.

"anak itu... benar benar brengsek.." desisnya. 

'dia tau segalanya.. segalanya yang terjadi' 

'Ia bahkan tau bahwa aku adalah pelaku pembunuhan itu'

Ia menggertakan giginya sembari mengepal kuat tangannya. 

"kau beruntung dia itu bodoh... dia tak akan mencurigai kita" 

'tapi sampai kapan kau akan terus begini? kau mencintainya kan?'

"tidak semudah itu, kau tau dia tak pernah memiliki perasaan serius terhadapku..."

'lalu kau akan membiarkan dirimu kalah dengan si hijau itu?' 

"hey.. dia bahkan bukan level ku.." Ia mendengus "aku tak sudi dibandingkan dengan dia" 

'tapi kau tau kalau dia mulai menyukai anak itu kan..? kau mungkin akan kehilangan kesempatanmu..' 

"aku tak mungkin memaksanya..' Ia menghela nafas panjang "aku tak ingin dia membenciku" 

'hei- berhentilah berpura pura. Aku tau kau menginginkannya.. it's now or never'







*** 









"aw! pelan pelan sedikit!" 

Thorn mendesis saat kapas yang dibasahi alkohol itu menyentuh telapak tangannya. Kedua telapak tangan Thorn terluka hingga berdarah saat ia lepas kendali, karena itu sekarang Halilintar tengah mengobati lukanya di UKS. 

"ih cemen! kamu cowo masa gak bisa nahan sakit dikit??" canda Halilintar sambil terus menotolkan kapas itu pada luka Thorn. 

"heh- kamu cowo juga ya Halilintar Thunderstorm" geram Thorn berusaha menarik tangannya, namun gagal karena Halilintar menahannya. 

"tapi aku gak luka ya! kalo nggak diobatin lukamu nanti infeksi tau!" ujar Halilintar sembari meniup-niup luka Thorn yang mulai mengering. 

Ia lalu mengambil dua buah band-aid dan menempelkannya dengan telaten pada dua belah luka itu. Halilintar tersenyum puas menatap hasil karyanya.

"selesai!" ucapnya riang gembira. Ia lalu menatap Thorn yang juga mengulas senyum. 

"uhm- t..terima kasih.." lirih Thorn, menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari melihat kearah lain.

Halilintar tertawa kecil melihat reaksi Thorn yang seperti orang kikuk. Ia kemudian mengangguk, lalu maniknya menatap Thorn dengan seksama. 

"eh?" 

Thorn yang sadar akan tatapan itu pun menoleh. Saat kedua netra itu bertemu, Halilintar tertegun melihat bagaimana netra hijau milik Thorn bersinar diantara remangnya penerangan ruangan itu. 

Flashback mengenai kejadian di hari itu pun kembali terputar di kepalanya. Ia awalnya berspekulasi bahwa Thorn mungkin adalah pelaku pembunuhan di hari itu- atau mungkin salah satu alter egonya. 

Namun setelah mengetahui fakta sebenarnya, Halilintar pun sadar bahwa mata hijau yang dimiliki Thorn berbeda dengan milik sang pelaku. Bagaimana mereka bercahaya di kegelapan malam menunjukan perbedaan yang cukup mencolok. 

"hey.. jangan menatapku begitu.." Thorn mulai salah tingkah kemudian mengalihkan pandangannya. 

"aku hanya mengagumi matamu, Thorn.." Halilintar tersenyum "mereka sangat indah.. bercahaya di kegelapan..aku suka"

Mendengar itu, Thorn merasakan wajahnya semakin memanas. Ini adalah pertama kalinya ia merasa salah tingkah di depan orang lain. 

"kau sendiri.. juga memiliki mata ruby yang indah.. aku menyukainya" Thorn berucap lirih, nyaris berbisik karena menahan malu. 

Halilintar tersenyum simpul mendengarnya, ia dengan gugup memainkan jari-jarinya dengan kepala tertunduk. Rona merah pun mulai menghiasi wajahnya. 


'kalau pelaku pembunuhan itu bukan Thorn, lalu... siapa?'




To be continued. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro